Menyambut hari raya Idul Fitri memang disunnahkan oleh nabi Muhammad SAW dengan penuh suka cita. Seperti yang disabdakan didalam Hadist Riwayat Hakim. Rasulullah SAW Memerintahkan kepada kami agar pada hari raya itu mengenakan pakaian yang terbagus, memakai wangi-wangian yang terbaik dan berqurban dengan hewan yang paling berharga
Kemudian yang patut dipertanyakan adalah makna kegembiraan pada diri kita masing-masing sebagai individu. Dengan memahami makna kegembiraan yang kita rasakan di hari raya, bisa kita jadikan refleksi dan evaluasi bagi kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Apakah kita telah menjadi lulusan di Universitas Ramadhan dengan predikat Cumlaude atau sebaliknya telah drop Out di awal tanpa kita sadari sebelumnya.
Empat Golongan Kegembiraan.:
Pertama, golongan kegembiraan anak-anak dalam menyambut lebaran. Dunia anak adalah dunia yang menyenangkan, dunia penuh angan-angan dan mimpi. Ketika seorang anak mendengar kata lebaran atau hari raya, yang terbesit dibenak mereka adalah baju baru, makanan lezat, berkunjung ke rumah kakek nenek, atau bertamasya ke pantai. Disini secara tidak sadar mereka menginginkan sesuatu yang sifatnya kebendaan bersifat sementara tidak faham secara filosofis arti Idul Fitri. Ini adalah kewajaran sebab sebatas itulah pemikiran mereka sebagai seorang anak.
Kedua, golongan kegembiraan yang dirasakan oleh muslim awam atau yang sering diistilahkan dengan islam KTP. Kita tahu dan banyak fakta yang dapat kita buktikan sendiri bahwa tidak seluruhnya umat Islam di bulan Ramadhan melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT padahal hukumnya wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi kriteria. Contoh yang paling mendasar ibadah puasa di siang hari. Ketika kita berkendara menyusuri jalan-jalan di Surabaya. Tidak sedikit kita menjumpai orang yang sedang menikmati kopi atau sekedar merokok dipagi atau siang hari di warung-warung pinggir jalan. Saya memahami jika hal tersebut dilakukan oleh Musafir atau non-Muslim. Tetapi seberapa besarkah prosentase mereka jika dibandingkan dengan warga muslim Surabaya yang beraktivitas di kota Surabaya? Mereka juga muslim (baca : islam KTP) dan mereka juga bergembira ketika hari raya Idul Fitri telah tiba. Kegembiraan yang mereka rasakan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan golongan pertama yaitu golongan anak-anak. Akan tetapi setingkat lebih tinggi karena factor kematangan social. Artinya kegembiraan itu tidak disebabkan adanya kebendaan semata akan tetapi ada nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya. Dimana lebaran diidentikkan dengan tradisi untuk mengunjungi sanak saudara untuk melepas rasa kangen setelah setahun lamanya tidak bertemu. Sehingga secara nasional di Indonesia muncul tradisi mudik yang sesungguhnya dinegara islampun jarang ditemui tradisi ini.
Ketiga, golongan kegembiraan yang dirasakan oleh umat muslim yang faham dan menjalankan perintah yang telah disyariatkan di bulan Ramadhan. Meraka melakukan puasa, sholat tarawih, tadarus Qur’an, I’tikaf di Masjid, shadaqoh dan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Akan tetapi apa yang meraka kerjakan itu masih dimaknai sebagai beban yang sangat berat bahkan merasa terbelenggu dengan beban-beban tersebut. Padahal dibulan Ramadhan hanya setan yang dibelenggu, jadi kalau ada yang merasa terbelenggu berarti meraka sama dengan ? Audzubilla min dzalik. Merekapun memiliki makna tersendiri tentang kegembiraan di hari raya selain memiliki kesamaan dengan golongan satu dan dua. Mereka memaknai kegembiraan itu sebagai moment terbebasnya dari kekangan, beban berat, yang dialami selama bulan Ramadhan. Sehingga ketika takbir berkumandang dan bedug ditabuh. Hati terasa plong merasa bebas dan secara tidak sadar dilampiaskan secara berlebihan sehingga pasca Ramadhan kembali kepada kondisi awal. Dimana tadarus qur’an-nya?, dimana Qiyamulailnya?, dimana sadaqahnya?. Tidak tampak lagi pasca Ramadhan sungguh ironi.
Keempat, golongan kegembiraan yang dirasakan oleh umat muslim yang faham dan menjalankan perintah di bulan Ramadhan dengan rasa Syukur. Artinya Ramadhan dimaknai sebagai momentum perubahan kualitas pribadi. Ramadhan adalah kesempatan yang langka dan belum tentu terulang kedua kalinya sehingga dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan ampunan serta Ridho dari Allah SWT. Ibadah yang disyariatkan di bulan Ramadhan dilaksanakan dengan keikhlasan dengan semangat tinggi. Tanpa ada beban berarti dalam menjalankannya. Semua yang dilakukan semata-mata karena kecintaannya kepada Rabb-nya. Sehingga ketika tiba saatnya hari nan Fitri. Kegembiraan yang muncul adalah rasa syukur. Syukur atas kesempatan yang diberikan Allah SWT untuk merengkuh pahala sebesar-besarnya. Syukur karena diberi kesempatan untuk memperbaiki diri kualitas keimanan dan ibadah. Sehingga apa yang ia lakukan selama bulan Ramadhan menjadi bekal sebelas bulan berikutnya. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Baik secara pribadi (Hablum minallah) maupun kemasyarakatan (Hablun minannas)
back to home